Kolose 3:21
"Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya."
Ingat kisah tragis Arie Hanggara? Anak malang berusia 8 tahun ini tewas akibat penyiksaan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri dan menjadi berita heboh pada saat kejadiannya di tahun 1984. Seperti anak-anak lainnya mungkin Arie memiliki sifat bandel yang masih harus diarahkan. Tetapi alih-alih diarahkan, ia malah mendapat hukuman-hukuman fisik lebih dari yang sanggup ia tanggung. Ia menjadi tempat pelampiasan kemarahan ayahnya yang kecewa pada hidupnya sendiri hingga diluar batas sampai pada akhirnya Arie tidak lagi sanggup menahan siksaan lebih lama. Penyesalan datang menyeruak begitu melihat Arie terbujur kaku, tetapi semua sudah terlambat. Kasus ini mungkin yang pertama diblow up besar-besaran di media massa pada saat itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika semakin banyak orang yang depresi dan tidak siap untuk mendidik anak, kasus-kasus "Arie Hanggara" lainnya pun kerap menghias berbagai sudut harian. Orang tua yang menyiram minyak tanah dan menyulut anaknya hidup-hidup, pemukulan keras bahkan dengan benda-benda pada bagian tubuh yang rawan, semua itu kita saksikan terjadi dimana-mana. Ada anak-anak yang dipukul dengan rotan berulang-ulang sampai rotannya patah di badan mereka. Bayangkan hal seperti itu dilakukan kepada anak yang masih sangat lemah dan belum mengerti banyak tentang hidup. Bagi saya yang belum dikaruniai anak hingga hari ini, rasanya miris sekali melihat betapa orang-orang tua seperti itu tidak lagi memiliki rasa syukur dan tanggung jawab terhadap anugerah besar yang telah mereka terima.
Banyak orang tua yang kurang atau bahkan tidak mengerti bagaimana cara membesarkan anak secara bijaksana. Banyak diantara mereka yang melupakan pentingnya kasih sebagai dasar kehidupan yang seharusnya juga menyentuh hubungan antara orang tua dengan anaknya. Kita melihat anak-anak yang tumbuh dari keluarga yang keras dan kasar akhirnya menjadi orang-orang dengan mental yang porak poranda. Outputnya pun kemudian bisa bermacam-macam. Itu masih mending ketimbang anak-anak lain yang mungkin harus berakhir nyawanya bukan ditangan orang lain, tetapi justru ditangan orang tuanya sendiri. Di satu sisi, anak-anak memang terkadang harus dihukum agar menyadari kesalahan mereka dan tidak mengulangi lagi. Tetapi bentuk kekerasan fisik yang berlebihan bisa berakibat fatal, baik bagi masa depan mereka maupun nyawa mereka. Jika kita berpikir bahwa kekerasan fisik saja yang menjadi masalah, ada banyak pula anak-anak yang menjadi kacau karena sering dimaki, dikutuk atau dihujani kata-kata kasar dalam frekuensi tinggi. Tanpa disadari, hal seperti ini kemudian menghancurkan mental mereka hingga dewasa.
Alkitab menyatakan dengan jelas agar orang tua bertindak bijaksana dan berhati-hati dalam mendidik atau menghukum anak-anaknya. "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya." (Kolose 3:21). Hati yang terlanjur tawar atau mungkin sudah pahit seringkali susah untuk dipulihkan. Jangan sampai karena tidak mampu menahan emosi kita bertindak melewati batas dan meninggalkan luka di hati mereka. Itu bisa berpengaruh besar terhadap masa depan mereka. Pada kesempatan lain kita pun membaca "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4). Do not irritate and provoke your children to anger, demikian bunyi pesan Paulus, but rear them tenderly in the training and discipline and the councel and admonition of the Lord. Mengajar atau menghukum anak bertujuan agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik lagi bukan untuk menyiksa atau menjadikan mereka tempat pelampiasan. Jelas dikatakan bahwa anak-anak haruslah dididik dalam ajaran dan nasihat Tuhan, dan kekerasan baik secara fisik maupun mental bukannya membuat mereka mengenal Tuhan, tetapi justru sebaliknya akan membuat mereka tawar dan sulit untuk percaya kepada siapapun, termasuk kepada Tuhan.
Betapa indahnya pesan dalam Mazmur yang berkata: "Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang." (Mazmur 127:4-5). Anak-anak, itu adalah bagaikan anak panah di tangan seorang pahlawan. Selayaknya pahlawan yang sedang memanah, ia harus pintar mengarahkan busurnya ke arah yang dituju, bukan menembak sembarangan. Apa yang bisa dipetik sebagai hasilnya bukan saja bermanfaat bagi masa depan anak-anak saja, melainkan orang tuanya pun kelak akan merasakan kebahagiaan lewat mereka. Betapa manusia sering lupa bahwa anak bukanlah hasil dari hubungan suami istri semata, tetapi seperti apa yang dikatakan Alkitab, anak merupakan warisan atau pusaka dari Tuhan. "Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah." (Mazmur 127:3) Dalam bahasa Inggrisnya dikatakan: "Behold, children are a heritage from the Lord, the fruit of the womb a reward." Jadi bukan saja anak laki-laki, tetapi anak perempuan pun merupakan pusaka yang indah dari Tuhan. Jika kita menyadari kehadiran mereka sebagai anugerah yang sangat indah, bukankah itu berarti bahwa kita harus mensyukurinya dengan bertanggung jawab penuh atas mereka? Dan kekerasan atau makian jelas tidak termasuk di dalamnya.
Orang tua butuh memiliki hikmat Tuhan agar bisa mendidik anak-anak mereka dengan bijaksana. Dan Firman Tuhan berkata bahwa "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." (Amsal 9:10). Awalilah langkah dengan rasa segan dan hormat akan Tuhan, dan dari sana melangkahlah maju dengan berpusat terus di dalamnya. Memang terkadang dibutuhkan kesabaran terlebih dalam menghadapi anak-anak yang tingkat kenakalannya di atas normal, dan jangan lupa bahwa bersama Tuhan kita akan bisa lebih sabar dalam menghadapi segala masalah. Ingatlah bahwa Firman Tuhan berkata: "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota." (Amsal 16:32). Tuhan menghargai kesabaran kita dengan begitu tinggi, karena selain dalam kasih itu memang terdapat kesabaran (1 Korintus 13:4) dan kita harus mengaplikasikan kasih dalam segala hal, kita pun harus sadar pula bahwa tanpa kesabaran kita bisa terjerumus melakukan banyak hal yang akan kita sesali di kemudian hari. Jika ada di antara teman-teman yang sempat atau pernah menyakiti hati anak-anak anda, berbesar hatilah untuk mengakui dan meminta maaf kepada mereka. Selalu ada lembaran baru disediakan Tuhan untuk memulihkan kembali hubungan antar keluarga termasuk antara orang tua dan anak-anaknya, pergunakanlah itu untuk memperoleh ikatan keluarga yang kokoh dengan kasih menjadi pengikatnya.
Jangan sakiti anak-anak lewat perbuatan atau perkataan karena itu bisa berdampak luas bagi masa depan mereka
0 komentar:
Posting Komentar