Waktu teduh adalah waktu dimana kita menjalin relasi pribadi dengan Tuhan, saat kita menghayati dan mengalami kembali kehadiran-Nya secara pribadi. Di sana kita tunduk luruh dalam keagungan kasih-Nya, bertelut dalam kebesaran kuasa-Nya. Bayangkan, seorang anak yang bersimpuh di hadapan ayah yang sangat mengasihi dan dikasihinya. Seperti itulah kita dalam melakukan waktu teduh. Kita “berbicara” kepada Bapa, bersyukur, memohon, mengucapkan segala isi hati. Sekaligus kita membuka diri untuk “mendengarkan suara-Nya”, menerima penghiburan dan tuntutan-Nya, nasihat dan teguran-Nya, sehingga kita pun dapat menjalani hari-hari kita dengan lebih baik dan lebih bermakna.
Kata “teduh” sendiri tidak semata merujuk pada suasana di luar diri, suasana yang hening, jauh dari kebisingan dan gangguan, sekalipun itu juga penting. Akan tetapi, jauh lebih penting keteduhan di dalam diri.Suasana tenang diluar hanyalah sarana untuk mencapai keteduhan di dalam diri.
Bisa diumpamakan begini : kita tengah berlari di sebuah taman. Kita terus berlari dan berlari. Lalu ada saatnya sejenak kita berhenti, menariknapas panjang, membiarkan semilir angin sejuk menerpa wajah, merasakan kedamaian suasana sekitar. Tenang. Teduh, sehingga kelegaan melingkupi jiwa kita.
Atau, bisa juga diumpamakan seperti cerita ini : Seorang pemuda tengah memotong kayu dengan kapak.Dari pagi hingga siang hari ia terus bekerja. Tanpa jeda. Tanpa waktu untuk sejenak beristirahat. Ia harus mengejar target. Seorang tua yang melihat itu menghampiri. “Anak Muda, kapakmu sudah tumpul,” katanya. “Berhentilah sejenak untuk mengasahnya.”
Seperti itulah waktu teduh. Jiwa kita pun akan “tumpul” apabila terus menerus digedor dan digelontor dengan kesibukan dan hiruk pikuk rutinitas sehari-hari. Kita perlu sejenak mengambil “jarak” dari segala kegaduhan itu dengan bersaat teduh, menutup mata, menutup telinga. Sambil kita membuka hati kepada Tuhan, menghayati kehadiran-Nya, membiarkan Dia menyapa melalui cara-Nya.
Jadi, waktu teduh adalah kebutuhan kita, sebagaimana tubuh jasmani kita membutuhkan makan dan minum, seperti itulah tubuh rohani kita membutuhkan waktu teduh. Karenanya, waktu teduh perlu kita jalani dengan rasa suka dan syukur, bukan dengan terpaksa, apalagi sekedar kewajiban.
Teladan Tuhan Yesus
Tuhan Yesus juga tidak lepas melakukan waktu teduh. Di tengah segala kesibukan-Nya melayani orang banyak, Dia selalu menyediakan diri untuk “mengasingkan” diri, “berteduh” bersama Sang Bapa (Matius 14:13, Markus 1:35, Lukas 5:16).
Tuhan Yesus juga tidak lepas melakukan waktu teduh. Di tengah segala kesibukan-Nya melayani orang banyak, Dia selalu menyediakan diri untuk “mengasingkan” diri, “berteduh” bersama Sang Bapa (Matius 14:13, Markus 1:35, Lukas 5:16).
Dua momen terpenting dalam “masa bakti-Nya” di dunia, Dia lalui dalam persekutuan pribadi dengan Sang Bapa. Pertama, di Taman Getsemani (Matius 26:36-46), saat via dolorosa (jalan penderitaan) sudah diambang mata.
Secara manusiawi, Dia sungguh layak merasa takut dan gentar. Betapa tidak? Derita hebat tidak terperi tengah menanti-Nya, seolah siap “melumat” tubuh ringkih-Nya yang teramat sangat, berubah menjadi penyerahan diri seutuhnya. “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!”, demikian Dia berkata.
Kedua, di Padang Gurun (Matius 4:1-11). Saat “panggilan hidup” menyelamatkan dan memenangkan manusia, membentang di depan mata. Sebuah tugas “mahaberat” dan mahal pula harganya. Di padang gurun nan sunyi, dalam persekutuan pribadi dengan Sang Bapa, Dia bersiap diri, meneguhkan hati, menata langkah guna mewujudkan visi dan misi yang mesti diemban-Nya. Dan, disana Dia juga lulus dengan predikat summacum laude dari jerat si Penggoda licik, yang dimasa lalu berhasil membuat Adam dan Hawa jatuh bertekuk lutut.
Tentang kisah pencobaan di padang gurun ini, ada pendapat bahwa itu pengalaman rohaniah. Sebab tidak ada gunung yang demikian tinggi hingga orang bisa melihat seluruh kerajaan dunia (ayat 8). Jadi, pastilah itu merupakan pencobaan rohaniah, yang munculnya bisa melalui angan-angan atau pikiran manusiawi. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa itu pengalaman lahiriah. Sebab di antara Yerusalem dan Laut Mati memang terdapat sebuah gurun pasir, yang dalam Perjanjian Lama disebut Yeshimmon, artinya Pembinasaan. Disebut demikian karena tempatnya sangat “mengerikan”, tanahnya coklat berkapur, tandus, berbatu terjal dan berlereng curam, ditambah udara panas yang menyengat. Disanalah Tuhan Yesus menyediri.
Kita dapat menerima kisah ini dari kedua sudut itu, pengalaman lahiriah maupun batiniah, bahwa perjuangan-Nya bukan fisik semata, melainkan juga batin. Kisah pencobaan di padang gurun ini juga menunjukkan, bahwa persekutuan pribadi dengan Sang Bapa adalah titik awal kiprah-Nya di dunia. Selanjutnya, Dia menjalani panggilan hidup-Nya dengan taat dan rela, dari awal hingga akhirnya.
0 komentar:
Posting Komentar